BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan
pemaparan H. A. R. Tilaar (2009: 50) bahwa: “Pendidikan merupakan kegiatan yang
esensial dalam setiap kehidupan masyarakat”. Pendidikan merupakan aspek pokok
bagi kehidupan suatu bangsa. Kondisi bangsa dimasa datang, sangat dipengaruhi
oleh paradigma berfikir masayarakatnya yang terbentuk melalui suatu proses
pendidikan. Proses pendidikan yang terarah akan membawa bangsa
ini menuju peradaban yang lebih baik. Sebaliknya, proses pendidikan yang tidak
terarah, hanya akan menyita waktu, tenaga, serta dana tanpa ada hasil. Dengan
demikian, sistem pendidikan sebagai implementasi pendidikan nasional sangat
menentukan maju mundurnya bangsa ini.
Pendidikan
nasional telah diatur dan didefinisikan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional (UU Sisdiknas) nomor 20 Tahun 2003. Dalam UU tersebut pendidikan
didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pendidikan agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsan dan negara. Selain itu, dijelaskan pula bahwa
Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tersebut
berkedudukan sebagai landasan hukum dalam penyelenggaraan setiap sistem
pendidikan. UU No. 20 Tahun 2003 ini merupakan salah satu perangkat pendidikan
yang sudah semestinya dirumuskan secara baik dan proporsional. Hal ini berkaitan
dengan keberadaan UU Sisdiknas tersebut yang berfungsi dalam menjabarkan
bagaimana tujuan Visi dan Misi Pendidikan Nasional, hingga mekanisme prosedural
pendidikan diatur, dengan tidak melepaskan konteks sosial-politik saat ini dan
masa depan. Oleh karena itu, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa baik dan buruk
sistem pendidikan dapat dilihat dari keberadaan UU, dan sistem pendidikannya.
Atas dasar
pentingnyakeberadaan daripada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tersebut, maka
pada kesempatan ini kelompok bermaksud untuk menyusun makalahdengan judul “Analisis Terhadap
Undang-undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional”.
B. Rumusan Masalah
Bertitik
tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan kelompok di atas dan
untuk memperoleh kejelasan terhadap masalah yang akan dipaparkan, maka perlu
adanya pembatasan dan perumusan masalah.
Dari
beberapa uraian pemikiran yang telah kelompok rangkum pada latar belakang
diatas, maka terdapat rumusan permasalahan sebagai berikut:
a) Bagaimana
kajian teknis dari UU No. 20 Tahun 2003?
b) Bagaimana
kajian isi/ substansi
dari UU No. 20 Tahun 2003?
c) Bagaimana
kajian empiris dari UU No. 20 Tahun 2003?
d) Bagaimana prospek
UU No. 20 Tahun 2003 untuk ke depannya?
C. Tujuan Penulisan
Makalah
Tujuan merupakan target yang hendak
dicapai dalam melakukan suatu kegiatan. Berdasarkan rumusan masalah yang
dirumuskan kelompok diatas, maka tujuan daripada penulisan makalah ini antara
lain:
a)
Untuk mengetahui
kajian teknis dari UU No. 20 Tahun 2003;
b)
Untuk mengetahui
kajian isi/ substansi
dari UU No. 20 Tahun 2003;
c)
Untuk mengetahui
kajian empiris dari UU No. 20 Tahun 2003; dan
d)
Untuk mengetahui prospek ke depan UU No. 20 tahun 2003.
BAB
II
ANALISA
A. Kajian Teknis
Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 merupakan produk hukum dalam bidang pendidikan yang disusun atas
dasar penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989. UU No. 20 Tahun 2003
ini disahkan di Jakarta pada 8 Juli 2003 oleh Presiden Republik Indonesia yakni
Ibu Megawati Soekarnoputri. UU No. 20 Tahun 2003 ini mengatur tentang Sistem
Pendidikan Nasional. UU No. 20 Tahun 2003 ini terdiri dari 22 BAB, 77 Pasal dan
252 Ayat. Dalam peraturan ini secara teknis peraturan ini sudah mencakup tiga
kaedah hukum sebuah peraturan, diantaranya, yakni gebod (perintah atau suruhan), mogen (kebolehan), dan verbod (larangan).
Dalam
UU No. 20 Tahun 2003 ini, tiga kaedah hukum yang ada, sebagaimana dapat dilihat
pada pemaparan dari ayat ke ayat dalam sebuah pasal. Dimana diantaranya untuk
contoh dari ayat yang memuat unsur kaedah hukum berupa gebod (perintah atau suruhan) adalah pada pasal 7 ayat 2 yang
berbunyi “Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan
pendidikan dasar kepada anaknya.”. Selanjutnya unsur kaedah hukum berupa mogen (kebolehan) dapat dilihat dari
pasal 23 ayat 1 yang berbunyi “Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi
dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”. Dan yang terakhir untuk pasal yang memuat
kaedah hukum berupa verbod (larangan)
dapat dilihat dari pasal 21 ayat 2 yang berbunyi “Perseorangan, organisasi,
atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang memberikan
gelar akademik, profesi, atau vokasi”.
B. Kajian Isi/
Substansi
UU No. 20 Tahun
2003 sebagai produk sebuah perundang-undangan dalam mengatur sistem pendidikan
nasional tersusun atas tiga kelompok bagian. Ketiga kelompok bagian tersebut
terdiri daripada pendahuluan, batang tubuh, dan penutup. Berikut penjabaran
atas tiga kelompok bagian daripada UU NO. 20 Tahun 2003 tersebut.
a) Pendahuluan
Bagian
pendahuluan daripada UU No. 20 Tahun 2003 ini memuat bagian konsideran beserta
definisi-definisi mengenai makna-makna daripada kata-kata yang terdapat dalam
UU No. 20 Tahun 2003 ini. Dalam bagian pendahuluan tepatnya untuk konsideran
ini UU No. 20 Tahun 2003 ditetapkan berdasarkan berbagai aspek pertimbangan,
antara lain: pembukaan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) yang mengamanatkan bahwa Pemerintahan Negara Indonesia berperan dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa, isi daripada UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa
Pemerintah perlu untuk menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, dan UU
No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dianggap tidak memadai
lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat
perubahan UUD Tahun 1945 serta dengan mengingat Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C
ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 UUD Tahun 1945.
b) Batang Tubuh
Dalam bagian
batang tubuh ini kami membaginya beradasarkan bidang garapan Administrasi
Pendidikan, antara lain:
(a)
Peserta Didik
Dalam
BAB V pasal 12 ayat 1 sampai 4 dijelaskan bahwa peserta didik memiliki hak dan
kewajiban, antara lain berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai yang
dianutnya, mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan minat dan bakat serta
kemampuannya, bagi yang orangtuanya tidak mampu peserta didik mendapat bantuan
biaya. Selanjutnya peserta didik berkewajiban menjaga
norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan hasil
pendidikan. Disini juga dijelaskan bahwa warga negara asing dapat menjadi
peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah NKRI.
(b)
Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Dalam
BAB XI pasal 39 sampai pasal 44 dijelaskan bahwa tugas pendidik
pada intinya adalah melaksanakan pembelajaran dan tenaga kependidikan bertugas
dalam kegiatan administrasi. Selanjutnya
dijelaskan pula mengenai hak dan kewajiban dari pendidik dan tenaga
kependidikan. Pendidik dan
tenaga kependidikan disini ditempatkan berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan
formal melihat dari kebutuhan daerah dimana disini pemerintah memfasilitasi
segala keperluan dari pendidik dan tenaga kependidikan. Selain itu dalam hal ini dipaparkan juga mengenai ketentuan kualifikasi,
promosi, penghargaan, dan sertifikasi. Pengembangan pendidik dan tenaga pendidik dalam hal ini harus mampu
dikembangkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
(c)
Sarana dan Prasarana
Dalam
BAB XII pasal 45 yang terdiri dari 2 ayat dijelaskan bahwa setiap
satuan pendidikan wajib menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung
keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. Selanjutnya ketentuan yang berkaitan
dengan penyediaan sarana dan prasarana ini diatur dalam peraturan pemerintah.
(d)
Pendanaan Pendidikan
Dalam
BAB XIII pasal 46 sampai pasal 49 dijelaskan bahwa pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat
bertanggungjawab
terhadap pendanaan pendidikan dalam hal menyediakan sumber pendanaan
pendidikan dengan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan serta
pengarahannya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
pengelolaan dana pendidikan, dan pengalokasian dana pendidikan minimal sebesar
20 % dari APBN, 20 % APBD dan hibah yang dialokasikan untuk dana
penyelenggaraan pendidikan.
(e)
Kurikulum
Dalam
BAB X pasal 36 sampai 38 dijelaskan bahwa pengembangan kurikulum
dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan dalam rangka
mewujudkan tujuan pendidikan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan potensi daerah dan
peserta didik. Dalam kurikulum
ini harus memuat nilai-nilai khusus yang telah disepakati dalam menjamin
tercapainya tujuan pendidikan nasional. Selanjutnya dalam dalam struktur kurikulum pada pendidikan dasar,
menengah, bahkan tinggi ini harus memuat beberapa muatan wajib berupa
matapelajaran yang harus disampaikan dalam penyelenggaraan kegitan pendidikan
yang dilaksanakan pada jenjang-jenjang tersebut. Lebih lanjut lagi, bahwa
kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan
oleh pemerintah, sedangkan kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan
tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi itu sendiri dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan untuk setiap program studinya.
(f)
Hubungan Sekolah dan Masyarakat
Dalam
BAB XV pasal 54 sampai pasal 56 dijelaskan bahwa hubungan sekolah dan
masyarakat dalam hal ini salah satunya berupa peran serta
masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok,
keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam
penyelenggaraan dan pengndalian mutu pelayanan pendidikan. Melihat terdapatnya hubungan sekolah dan masyarakat maka
dalam hal ini perlu adanya penyelenggaraan pendidikan berbasis
masyarakat dengan mengembangkan
dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan
pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
c) Penutup
Bagian
penutup dalam UU No. 20 Tahun 2003 ini terdiri daripada ketentuan pidana dalam
BAB XX pasal 67 sampai pasal 71, ketentuan peralihan dalam BAB XXI pasal 72
sampai pasal 74, dan ketentuan penutup dalam pasal 75 sampai pasal 77.
Ketentuan pidana berisi mengenai beberapa tindakan pidana baik berupa kurungan
maupun denda terhadap segala tindakan yang melanggar peraturan
mengenai penyelenggaraan pendidikan dari berbagai kegiatannya. Selanjutnya dalam ketentuan peralihan diatur mengenai
pemberlakuan penyelenggaraan pendidikan yang pada saat undang-undang ini
diberlakukan belum berbentuk badan hukum pendidikan, waktu perijinan selambat-lambatnya 2
tahun bagi satuan pendidikan formal yang telah berjalan namun belum memiliki
ijin, dan
pemberlakuan peraturan pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1989 selama tidak
bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang ini. Kemudian yang terakhir dalam bagian penutup ini
dipaparkan mengenai peraturan perundang-undangan yang tidak
berlaku lagi setelah UU ini diterbitkan.
C. Kajian Empiris
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 telah bertahan untuk saat
ini kurang lebih selama 9 tahun. Angka tersebut merupakan angka yang cukup
matang untuk terlaksananya suatu kualitas pendidikan yang semakin tinggi dan
bermutu. Namun pada akhir-akhir ini aturan yang terdapat dalam Undang-Undang
tersebut banyak yang kurang atau bahkan tidak sesuai lagi dengan perkembangan
negara Indonesia saat ini. Berdasarkan pendapat dari H. A. R Tilaar (2006: 1)
bahwa:
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
menggarisbawahi perlunya komitmen pemerintah terhadap pendidikan namun dalam
APBN/ APBD justru dikalahkan oleh suatu peraturan pemerintah. Kurangnya
komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk menjadikan pendidikan sebagai titik
tolak reformasi masyarakat dan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang cerdas
dan demokratis sebenarnya telah tampak di dalam ketiadaan arah pengembangan
pendidikan nasional.
Pendapat dari H. A. R Tilaar di atas telah menggambarkan
keberadaan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 ini kurang bisa mempertahankan
peraturan yang telah dimuat didalamnya untuk kondisi pendidikan di lapangan
pada saat ini. Pemerintah yang semula berkomitemen untuk pendidikan, dewasa ini
komitmen mereka telah memudar hingga tidak memikirkan pengembangan pendidikan
nasional. Hal tersebut merupakan sebuah pemikiran kritis daripada perbaikan
sebuah Peraturan Perundang- Undangan.
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh kelompok
terhadap UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang kemudian dikenal dengan UU Sisdiknas, kelompok memberikan
beberapa pemikiran kritis terhadap beberapa pasal yang kelompok anggap
keberadaannya ini memerlukan sebuah perbaikan akan kurang sesuainya UU No. 20
Tahun 2003 ini dengan kondisi pendidikan saat ini maupun kejelasan daripada
pasal-pasal tersebut dengan sebuah kajian empiris. Berikut hasil daripada
kajian empiris yang telah kelompok kami lakukan.
a)
Pasal
5 ayat 3
“Warga
negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang
terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus”.
Dalam penjelasan pasal 5 ayat 3
tersebut cenderung tidak menyamakan hak dari setiap warga negara untuk
memperoleh pendidikan yang sama, karena dalam ayat tersebut dituliskan kata-kata “masyarakat di daerah terpencil/ terbelakang”.
Kata-kata yang terdapat dalam pasal 5 ayat 3 tersebut
secara tidak langsung telah membedakan
antara masyarakat di daerah terpencil dengan daerah lainnya yang notabennya
adalah daerah perkotaan.
b)
Pasal
5 ayat 5
“Setiap
warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang
hayat”.
Dalam penjelasan pasal 5 ayat 5 ini
dijelaskan mengenai kesempatan warga negara untuk meningkatkan pendidikan
sepanjang hayat. Namun pada kenyataannya pada pendidikan dasar dan menengah
tersebut terdapat pembatasan usia dalam
memperoleh pendidikan. Jadi, ayat tersebut tidak selaras dengan
kenyataan yang ada.
c)
Pasal
7 ayat 2
“Orangtua
dari anak usia wajib belajar berkewajiban memberikan pendidikan dasar pada
anaknya”
Dalam ayat tersebut dijelaskan
mengenai kewajiban orangtua dalam memberikan pendidikan dasar pada anaknya.
Namun akan lebih baik bila dalam ayat tersebut dijelaskan pula mengenai sanksi
daripada pelanggarannya.
Karena bila dilihat pada kondisi pendidikan saat ini sangat banyak orangtua
yang tidak mendukung pendidikan anaknya, mereka lebih menyuruh anaknya untuk
bekerja dalam membantu ekonomi keluarga daripada mengikuti wajib belajar 9
tahun.
d)
Pasal
31 ayat 3
“Pendidikan jarak jauh
diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh
sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan
sesuai dengan standar nasional pendidikan.”
Dalam pasal 31 ayat 3 tersebut
kurang dipahami mengenai bentuk dari pendidikan jarak jauh itu seperti apa, karena dalam pasal 31 ayat 3 tersebut
tidak diuraikan contoh bentuk pendidikan jarak jauh tersebut seperti yang ada
di pendidikan keagamaan.
e)
Pasal
34 ayat 1
“Setiap
warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar”.
Dalam pasal 34 ayat 1 tersebut
disebutkan bahwa warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program
wajib belajar. Sedangkan pada pasal 6 ayat 1 disebutkan setiap warga negara
wajib mengikuti pendidikan dasar mulai usia 7 tahun. Hal ini menunjukkan tidak
adanya sinkronisasi antara kedua pasal tersebut dalam menentukan usia minimal pendidikan dasar, karena
terdapat dua standar usia yang berbeda.
f)
Pasal
34 ayat 2
“Pemerintah
dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada
jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”.
Pada pasal tersebut dianggap tidak
sesuai dengan kondisi pendidikan di Indonesia pada saat ini karena dilapangan
bisa dilihat bahwa di sekolah swasta itu pemerintah tidak sepenuhnya mendukung
pembebasan biaya pendidikan.
g)
Pasal
50 ayat 1
“Pengelolaan sistem pendidikan
nasional merupakan tanggung jawab menteri”.
Pada pasal ini terdapat kekurangan
yaitu tidak mencantumkan spesifik menteri yang dimaksud.
h)
Pasal
50 ayat 3
“Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang
pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf
internasional”.
Berdasarkan kondisi warga negara
Indonesia yang tidak terhindar daripada warga dengan ekonomi yang kurang, maka
kebijakan daripada pasal 50 ayat 3 ini tidak bisa menciptakan pendidikan yang
sama untuk seluruh warga negara. Karena dengan adanya kebijakan penyelenggaraan
pendidikan bertaraf internasional tersebut yang dapat memanfaatkan hanyalah
orang-orang dengan kelas ekonomi yang tinggi. Selain itu kebijakan pemerintah
menyelenggarakan sekolah bertaraf internasional ini juga dapat diplesetkan
menjadi sekolah bertarif internasional, karena biaya pendidikan dalam sekolah
bertaraf internasional tersebut melambung tinggi.
i)
Pasal
53 ayat 3
“Badan
hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan
dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan”
Dalam pasal ini tidak dijelaskan
mengnai pengetian dari nirlaba, seharusnya dijelaskan makna daripada kata nirlaba itu sendiri, karena produk hukum
ini digunakan oleh semua warga Negara, sehingga pengunaan kata-kata yang ada dalam perundangan ini
harus jelas dan kiranya dapat
dimengerti oleh seluruh warga negara.
j)
Pasal
57 ayat 2
“Evaluasi
dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur
formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan”
Pada pasal ini tidak adanya
sinkronisasi dengan pasal sebelumnya yakni Pasal 27 ayat 2, karena di dalam pasal 27 dijelasakan
bahwa pendidikan jalur
informal melakukan ujian atau evaluasi namun dalam pasal ini terlihat bahwa evaluasi dilakukan
hanya untuk pendidikan jalur
formal dan nonformal saja tanpa adanya evaluasi untuk pendidikan informal.
k)
Pasal
58 ayat 1
“Evaluasi
hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses,
kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”.
Pasal tersebut tidak sesuai dengan
keadaan dilapangan karena evaluasi hasil belajar peserta didik dewasa ini ditentukan oleh
pemerintah pusat semata melalui
Ujian Nasional (UN). Jadi atas
dasar hal tersebut dapat kita lihat bahwa ketetapan mengenai evaluasi
pendidikan yang terdapat dalam UU No. 20 Tahun 2003 ini seolah-olah tidak
digunakan dilapangan. Evaluasi pendidikan yang ada dewasa ini mengacu pada PP
No. 19 Tahun 2005 bukan pada UU No. 20 Tahun 2003. Pada pelaksanaan pendidikan
saat ini seakan-akan PP No. 19 Tahun 2005 telah mengalahkan UU No. 20 Tahun
2003 yang semestinya menjadi induk terhadap penyelenggaraan evaluasi peserta didik.
l)
BAB
20 mengenai KETENTUAN PIDANA
Dalam BAB tersebut sebaiknya
terdapat ketentuan pidana mengenani wajib belajar, karena sesuatu yang wajib
tersebut bila tidak dipatuhi seharusnya terkena sanksi dan dijelaskan pada BAB
ini jenis sanksi-sanksinya apa saja.
D. Prospek Ke Depan UU No. 20 Tahun 2003
Prospek ke depan terhadap UU No. 20 Tahun
2003 ini adalah bahwa untuk keberadaan UU No. 20 Tahun 2003 itu sendiri pada
masa mendatang dianggap perlu adanya pembaharuan terhadap peraturan yang ada.
Hal ini perlu dilakukan mengingat bahwa keberadaan UU No. 20 Tahun 2003 ini
dalam penjelasan beberapa pasalnya memiliki kelemahan-kelemahan baik yang tidak
sesuai dengan kondisi pendidikan saat ini maupun pasal-pasal yang kurang
mendasari pencapaian visi dan misi pendidikan nasional.
Perkembangan pendidikan pada masa depan
yang dapat diprediksikan mengalami banyak perubahan yang kompleks sangat
berdampak pada perlunya sebuah peraturan yang mampu mendukung keterlaksanaan
penyelenggaraan pendidikan. Maka dari itu, UU No. 20 Tahun 2003 ini sangat
perlu untuk diperbaharui lagi dengan melihat tantangan pendidikan pada masa
kini dan masa yang akan datang.
BAB
III
KESIMPULAN
Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 (UU NO. 20 Tahun 2003) merupakan sebuah produk hukum dalam
dunia pendidikan yang berfungsi dalam mengatur segala aspek kegiatan yang
dilakukan dalam cakupan pendidikan nasional. Kesempurnaan daripada UU ini dapat
dilihat dari segi penilaian berdasarkan daripada segi teknis, isi atau
substansi maupun empiris.
Secara
keseluruhan muatan daripada UU NO. 20 Tahun 2003 ini sudah memenuhi kebakuan
sebuah Peraturan Perundang-undangan dengan adanya unsur-unsur norma sebuah
produk hukum yang diantaranya adalah gebod,
verbod, dan mogen. Selanjutnya
berdasarkanisi atau substansinya, UU No. 20 Tahun 2003 ini telah memuat
peraturan-peraturan yang cukup padat sebagai pedoman pokok penyelenggraan
satuan maupun proses pendidikan nasional. Namun dalam UU NO. 20 Tahun 2003 ini
juga secara isi atau substansi masih terdapat juga kekurangan-kekurangan yang
membutuhkan penyempurnaan dalam pembahasan setiap ayat dalam sebuah pasal.
Kemudian yang terakhir secara empiris dengan memperhatikan kondisi rill
pendidikan Indonesia saat ini UU NO. 20 Tahun 2003 ini masih memerlukan banyak
perbaikan ke arah yang lebih baik lagi untuk terciptanya pendidikan yang
benar-benar berlandaskan nasionalisme dalam mendukung tujuan mulia daripada
penddikan itu sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Tilaar, H &
Nugroho, R (2009). Kebijakan Pendidikan:
Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikandan Kebijakan Pendidikan sebagai
Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tilaar, H. (2009). Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen
Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan. Jakarta: Rineka Cipta
Tilaar, H. (2006). Standarisasi Pendidikan Nasional: Suatu
Tinjauan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta
Yamin, M. (2009). Menggugat Pendidikan Indonesia. Jogjakarta:
Ar- Ruzz Media